Asas
Kewarganegaraan
Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu
negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara
mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana yang hendak
dipergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering
dijumpai,yaitu ius soli dan ius sanguinis. Sedangkan dari segi
perkawinan, ada dua asas pula yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan
derajat.
Untuk lebih jelasnya satu persatu asas-asas tersebut akan
diuraikan sebagai berikut:
1. Dari Segi
Kelahiran
Terdapat dua macam asas kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah ini berasal
dari bahasa latin. Ius berarti hukum,
dalil atau pedoman sedangkan soli
berasal dari kata solum yang berarti
negeri, tanah, atau daerah. Sehingga ius
soli berarti pedoman yang berdasarkan tempat atau daerah. Kaitannya dengan
asas kewarganegaraan, ius soli
berarti kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Orang
yang lahir di negara X akan memperoleh kewarganegaraan dari negara X tersebut.
Asas yang ke dua adalah ius sanguinis
berarti pedoman yang didasarkan kepada darah atau keturunannya atau orang
tuanya . Orang yang lahir dari orang tua warga negara Y akan memperoleh
kewarganegaraan dari negara Y itu.
Terdapat negara yang menganut asas ius soli, dan ada pula yang menganut asas ius sanguinis. Dewasa ini umumnya kedua asas
ini dianut secara simultan. Perbedaannya, ada negara yang lebih menitikberatkan
pada penggunaan ius sanguinis, dengan
ius soli sebagai kekecualian.
Sebaliknya terdapat pula penggunaan asas ius soli , dengan ius sanguinis sebagai kekecualian.
Penggunaan kedua asas secara simultan ini dimaksudkan
untuk menceagah status apatride atau
tidak berkewarganegaran (stateless).
Artinya apabila terdapat seseorang yang tidak memperoleh kewarganegaraan dengan
penggunaan asas yang lebih dititikberatkan oleh negara yang bersangkutan, masih
dapat memperoleh kewarganegara dari negara tersebut berdasarkan asas yang lain.
Kondisi sebaliknya jika sebuah atau beberapa negara
menganut asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat
menimbulkan masalah bipatride atau
dwi kewargenageraan (berkewarganegaraan ganda), bahkan multipatride
(berkewarganegaraan banyak atau lebih dari dua). Sebagai contoh, Negara X
menganut asas ius sanguinis, sedangkan negara Y menganut asas ius soli. Maka setiap orang yang lahir
di negara Y dari orang tua yang berkewaganegaran X, akan mempunyai status baik
sebagai warna negara Y maupun negara X, karena ia keturunan warga negara X, ia
pun memperoleh status warga negara Y, karena ia lahir di negara Y.
Jika seseorang lahir di negara X dari orangtua warga
negara Y, ia akan berstatus apatride. Ia ditolak oleh negara orang tuanya
(negara Y), sebab ia tidak lahir di sana.Ia pun ditolak oleh negara tempat ia
lahir (negara X), karena negara tersebut menganut asas ius sanguins. Artinya menurut ketentuan negara X, ia seharusnya
memperoleh kewarganegaraan dari negara orang tuanya.
Pada mulanya hanya ada satu asas yaitu ius soli, karena hanya beranggapan bahwa
karena lahir suatu wilayah negara, logislah apabila seseorang merupakan warga
negara dari negara tersebut. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat
mobilitas manusia, diperlukan asas lain yang tidak terbatas pada tempat kelahiran
semata. Orang tua tentu masih mempunyai ikatan dengan negaranya sendiri.
Masalah akan timbul ketika kewarganegaraan anaknya berlainan dengan
kewarganegaraan orang tuanya sendiri. Anak memperoleh kewarganegaraan dari
tempat ia dilahirkan , sedangkan orang tuanya tetap berkewarganegaraan dari
negara asal. Atas dasar itulah muncul asas yang baru, yaitu ius sangunis tersbut. Dengan asas ini
kewarganegaraan si anak akan mengikuti kewarganegaraan orangtuanya.
Sebagian besar negara imigratif
pada prinsipnya lebih menggunakan ius
soli sebagai asas kewarganegaraannya. Sebaliknya, negara emigratif (negara yang warga negaranya
banyak merantau ke negara lain) cenderung menggunakan asas kewarganegaraan ius sanguinis. Keduanya mempunyai alasan
yang sama, yaitu negara yang bersangkutan ingin mempertahankan hubungan dengan
warganegaranya. Negara emigratif ingin tetap mempertahankan warga negaranya. Di
manapun mereka berada, mereka tetap merupakan bagian dari warga negaranya.
Sebaliknya negara imigratif menghendaki agar warga barunya secepatnya
meleburkan diri ke dalam negara yang baru itu.
2. Dari Segi
Perkawinan
Melalui perkawinan lahirlah dua asas, yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Sebuah perkawinan
dapat menyebabkan terjadinya perubahan status kewarganegaraan seseorang.
Masalah kewarganegaraan dalam konteks ini akan muncul apabila terjadi suatu
perkawinan campuran,yaitu suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak
yang berbeda kewarganegaraannya. Munculnya kedua asas ini berawal dari
kedudukan pihak wanita di dalam perkawinan campuran itu.
Asas kesatuan hukum bertolak dari hakikat suami isteri
ataupun ikatan dalam keluarga. Keluarga merupakan inti masyarakat dan
masyarakat akan sejahtera apabila didukung oleh keluarga-keluarga yang sehat
dan tidak terpecah. Kehidupan suami isteri yang baik mencerminkan satu kesatuan
keluarga yang utuh dan harmonis, dan ini tercipta karena terdapatnya satu
kesatuan yang utuh dan bulat dalam keluarga, dan untuk mencapai kesatuan dalam
keluarga diperlukan satu kepatuhan terhadap hukum yang sama.
Terdapat nilai-nilai positif dari penyelenggaraan
kehidupan keluarga tersbut apabila para anggota keluarga itu tunduk pada hukum
yang sama, misalnya dalam masalah keperdataan: pengaturan harta kekayaan, status
anak, dan lain-lain. Karena itu akan baik dan bahagia sebuah rumah tangga jika
dalam keluarga tersebut memiliki kewarganegaraan yang sama yang secara otomatis
tunduk pada satu hukum yang sama.
Permasalahannya, siapakah yang harus mengikuti
kewarganegaraan pasangannya? Apakah suami harus mengikuti kewarganegaraan
isterinya ataukah sebaliknya? Pada kedua sisi ini dapat saja kedua-duanya
terjadi sebagai satu pilihan. Akan tetapi dalam praktik pihak isterilah yang
mengikuti kewarganegaraan suaminya.
Sebagai reaksi dari penggunaan asas ini, muncul satu
bentuk protes dari kalangan perempuan yang menganggap bahwa dengan asas ini
seolah-olah atau kaum perempuan berada pada derajat yang bawah atau
bertentangan dengan prinsip emansipasi wanita yang selama ini diperjuangkan
kaum perempuan. Dalam prinsip emansipasi wanita, laki-laki sama saja dengan
perempuan dan tidak mau untuk dibeda-bedakan. Sebagai reaksi dari rasa
ketidakadilan ini muncul asas baru yaitu asas persamaan derajat.
Pada asas persamaan derajat ini ditentukan bahwa suatu
perkawinan tidak menyebabkan berubahnya satus kewarganegaraan masing-masing
pihak. Baik pihak suami maupun pihak isteri tetap memiliki kewarganegaraan
asalnya, sama ketika mereka melangsungkan perkawinan.
Dari sisi kepentingan nasional masing-masing negara asas
persamaan derajat ini mempunyai aspek yang positif. Asas ini jelas dapat
menghindari terjadinya penyelendupan hukum.
Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing yang ingin memperoleh
status warga negara tertentu berpuran-pura melakukan perkawinan dengan seorang
warga negara dari negara yang dituju. Melalui perkawinan itu, orang tersebut
memperoleh kewarganegaraan yang diinginkan. Setelah status kewarganegaraan
diperoleh, maka dapat saja bercerai kembali. Untuk hal ini banyak negara
mengatur masalah penggunaan asas ini dalam peraturan kewarganegaraannya.
Seperti halnya asas ius
soli dan ius ius sanguinis,
penggunaan dua asas kesatuan hukum persamaan derajat yang berlainan dapat
menimbulkan status bipatride dan apatride, khususnya bagi wanita. Melalui
perkawinan seseorang wanita dapat mempunyai kewarganegaraan lebih dari satu.
Sebaliknya melalui perkawinan pula seorang wanita dapat kehilangan
kewarganegaraannya.
Sebagai contoh: Negara X menganut asas kesatuan hukum,
sedangkan negara Y menganut asas persamaan derajat. Jika seorang laki-laki
warga negara X menikah dengan seorang wanita yang berkewarganegaraan Y, si
wanita akan berkewarganegaraan rangkap (bipatride),
karena menurut ketentuan negara Y ia tidak diperkenankan untuk melepaskan
kewarganegaraannya (warganegara Y). Sementara
itu menurut ketentuan dari negara suaminya (negara X) ia harus menjadi
negara X mengikuti satus suaminya.
Akan terjadinya sebaliknya jika seorang wanita negara X
sementara suaminya berkewarganegaraan Y, ia akan memiliki status apatride. Ia
ditolak oleh negara suaminya (negara Y), karena menurut ketentuan negara Y
suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan
masing-masing pihak. Sedangkan di negaranya sendiri (negara X)
kewarganegaraannya telah lepas, karena perkawinannya dengan laki-laki asing, ia
harus melepaskan kewarganegaraan X-nya untuk mengiukti kewarganegaraan
suaminya.
Di samping asas-asas tersebut di atas dalam menentukan
kewarganegaraan dipergunakan dua stelsel
kewarganegaraan,yaitu: (a) stelsel
aktif; dan (b) stelsel pasif. Menurut
stelsel aktif orang harus melakukan
tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif menjadi warga negara. Menurut stelsel pasif orang dengan sendirinya
dianggap menjadi warganegara tanpa melakuakn sesuatu tindakan hukum tertentu.
Berhubungan dengan ke-dua stelsel tersebut maka harus dibedakan: (a) hak opsi,yaitu hak untuk memilih sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif) dan (b) hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak
sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel
pasif).
Imigrasi
Istilah imigrasi berasal dari bahasa Latin migratio yang
berarti perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat atau
negara lain (M. Iman Santoso, 2004). Ada istilah emigratio yang memiliki arti
berbeda, yaitu perpindahan penduduk dari suatu wilayah atau negara ke luar
menuju wilayah atau negara lain. Sebaliknya istilah immigratio dalam bahasa
Latin mempunyai arti perpindahan penduduk dari suatu negara untuk masuk ke
dalam negara lain. Pada hakekatnya emigrasi dan imigrasi itu menyangkut hal
yang sama yaitu perpindahan penduduk antarnegara, tetapi yang berbeda adalah
cara memandangnya. Ketika seseorang pindah kenegara lain, peristiwa ini
dipandang sebagai peristiwa emigrasi, namun bagi negara yang didatangi orang
tersebut sebagai peristiwa imigrasi.
Konferensi internasional tentang emigrasi dan imigrasi, tahun 1924 di Roma memberikan definisi imigrasi sebagai suatu: “Human mobility to enter a country with its purpose to make a living or for residence.” (Gerak pindah manusia memasuki suatu negeri dengan niat untuk mencari nafkah dan menetap disana).
Ketika muncul konsep negara dan kedaulatan atas suatu wilayah tertentu, maka, dalam melakukan perlintasan antarnegara, digunakan paspor yang secara harfiah berarti melewati (pintu masuk) pelabuhan. Paspor adalah pas atau izin melewati pelabuhan atau pintu masuk, yang berasal dari kata to pass yaitu melewati, dan port yaitu pelabuhan atau pintu masuk. Paspor ini biasanya memuat identitas kewarganegaraan pemegangnya. Oleh karena itu negara yang mengeluarkan berkewajiban memberi perlindungan hukum dimana pun kepada pemegang berada. Selain itu di dalam paspor dicantumkan kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mengizinkan pemegang paspor berlalu secara leluasa, memberi bantuan, dan perlindungan kepadanya di dalam melintasi batas suatu negara.
Kemudian di dalam rangka menyeleksi orang asing yang ingin masuk dan melakukan perjalanan ke negara lain, dibutuhkan visa. Istilah visa berasal dari kata Latin visum yang artinya laporan atau keterangan telah diperiksa. Kemudian, istilah visa dipergunakan sebagai istilah teknis di bidang keimigrasian yang artinya adalah cap atau tanda yang diterakan pada paspor, yang menunjukkan telah diperiksa dan disetujui oleh pejabat negara tujuan, di luar negeri, untuk memasuki negara asal pejabat negara asing itu. Pemeriksaan paspor dan visa yang tercantum di dalamnya merupakan bagian dari proses keimigrasian pada saat kedatangan orang asing di suatu negara. Dalam pernyatan sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara dan setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri dan berhak kembali kenegerinya sendiri.
Keimigrasian menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (selanjutnya disebut UU No. 9/1992) adalah hal-ihwal lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Indonesia.
Dengan menggunakan pendekatan gramatikal (tata bahasa) dan pendekatan semantik (ilmu tentang arti kata) definisi keimigrasian dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata hal diartikan sebagai keadaan, peristiwa, kejadian (sesuatu yang terjadi). Sementara ihwal diartikan sebagai perihal. Dengan demikian, hal-ihwal diartikan sebagai berbagai keadaan, peristiwa, atau kejadian.
- Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata lalu-lintas diartikan sebagai hubungan antara suatu tempat dengan tempat lain, hilir mudik, bolak-balik.
Dengan demikian, menurut UU No. 9/92 terdapat dua unsur pengaturan yang penting, yaitu:
a. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai lalu lintas orang keluar, masuk, dan tinggal dari dan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
b. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai pengawasan orang asing di wilayah Republik Indonesia.
Mengacu pada konsepsi wawasan nusantara yang antara lain menyatakan bahwa batas teritorial negara Indonesia merupakan satu kesatuan geografis baik itu berupa daratan, lautan, dan udara. Berdasarkan batas-batas teritorial negara Republik Indonesia yang diakui secara internasional maka timbal yurisdiksi hukum Indonesia atas setiap orang, benda, dan perbuatan yang berada dan terjadi dibawah dan di atas wilayah Indonesia. Operasionalisasi konsep wawasan nusantara dikaitkan dengan batas-batas teritorial ini sesuai dengan prinsip umum hukum internasional yang dikemukakan oleh Lord Macmillan yang menyatakan:
“Adalah statu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, sepeti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap orang,benda,dan perbuatan dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbal di dalam perbuatan batas-batas teritorial ini.”
Demikian pula dari sudut pandang keimigrasian bahwa dalam lingkup batas-batas teritorial, keimigrasian berfungsi untuk meminimalisasikan dampak negatif dan mendorong dampak positif dari yurisdiksi sementara (transient jurisdiction) yang timbal akibat keberadaan orang asing yang bersifat sementara itu selama berada dalam wilayah Indonesia. Peran keimigrasian seketika muncul saat orang asing melintasi batas wilayah Indonesia. Oleh karena itu fungsi keimigrasian dapat berada di darat,laut,dan udara wilayah Indonesia. Ada tempat-tempat tertentu yang ditetapkan sebagai pintu masuk atau keluar (entry point/border crossing).
Pada tempat-tempat itu dilakukan clearance yang secara universal dilaksanakan oleh Immigration (imigrasi) juga disertai fungsi-fungsi lainnya seperti Custom (Bea dan Cukai) dan Quarrantine (karantina), yang bekerja secara bersama-sama dalam suatu perlintasan. Imigrasi untuk clearance perlintasan manusia, Bea Cukai untuk clearance perlintasan kesehatan manusia,hewan,dan tumbuhan. Fungsi-fungsi ini secara internasional dikenal sebagai CIQ (Custom, Imigration, Quarrantine) dan merupakan fungsi-fungsi pokok di wilayah lintas batas territorial. Di samping juga melihat adanya fungís kepolisian dan militer yang keadaan normal bekerja sebagai fungsi supporting system. Kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sedangkan militer fungsi pertahanan. Contoh dalam pemeriksaan kapal yang berlabuh pada perairan pedalaman Indonesia sebelum menaikkan dan menurunkan orang atau barang harus terlebih dulu menaikkan bendera “N” yang berarti mempersilahkan petugas imigrasi mengadakan clearance. Tanpa clearance dari imigrasi, maka setiap orang yang Turun dari kapal dianggap secara tidak sah memasuki wilayah Indonesia dan atas tindakan itu diancam pidana. Apabila clearance telah selesai selanjutnya diikuti clearance oleh Custom dan Quarrantine. Dalam pandangan teknis imigratoir, immigration clearance diartikan sebagai penyelesaian pendaratan pada saat perlintasan di entry point (dengan pengertian pendaratan masuk atau pendaratan keluar).
Ada suatu pandangan yang salah yang beranggapan bahwa fungsi keimigrasian hanya dilakukan di pelabuhan udara atau pelabuhan laut saja. Hal ini disebabkan kita terbiasa melihat petugas imigrasi hanya bertugas pada kedua tempat itu saja. Pengertian batas teritorial negara dari sudut pandang keimigrasian, secara geografis dapat dibagi dalam pengertian:
Batas garis wilayah teritorial “luar”, yaitu batas teritorial negara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan merupakan batas-batas garis wilayah negara Indonesia yang telah ditetapkan dan diakui secara internasional sebagai batas teritorial “luar” berdasarkan: (1) UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia; (2) UU No.7/1973 tentang Landas Kontinen; (3) UU RI No.6 thn.1973 tanggal 8 Desember 1973 tentang batas antara Indonesia dengan Papua New Guniea; (4) Keppres No.89 thn.1969 tanggal 5 November 1969 tentang Batas antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam ruang lingkup ini fungsi keimigrasian pada dasarnya mempunyai tugas untuk mengamati,mengatur,dan menjaga seluruh pelintasan manusia baik masuk maupun keluar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Contoh pelintasan perbatasan darat di Entikong, Kalimantan Barat atau perlintasan laut di Kepulauan Natuna-Riau, secara fisik kedua tempat tersebut berada pada garis batas teritorial negara.
Batas garis wilayah teritorial “dalam”, yang dimaksud di sini adalah batas-batas yang terdapat di dalam area pelabuhan laut atau udara internasional yang memisahkan wilayah internasional dengan wilayah nasional. Contoh: Pada pelabuhan udara internasional seperti Bandara Sukarno Hatta-Jakarta atau Bandara Juanda-Surabaya,atau pelabuhan Tanjung Priok-Jakarta terdapat batas yang secara fisik berbentuk sebuah garis kuning (a yellow line) atau dikenal sebagai immigration line yang terdapat di depan arrival atau departure immigration counter. Di belakang garis kuning itu sampai pada pintu pesawat dapat diartikan sebagai wilayah internasional (international area atau sterile area) dan dalam pesawat/kapal laut berlaku hukum negara di mana pesawat itu terdaftar.
Dalam perspektif keimigrasian setiap orang dianggap telah melewati garis wilayah perbatasan teritorial ketika telah melewati pemeriksaan keimigrasian untuk memproses pendaratan bagi setiap pelintasan baik masuk maupun keluar. Pelabuhan udara atau laut secara fisik kedua titik tersebut berada di dalam garis wilayah batas teritorial suatu negara dan merupakan bagian dari wilayah darat atau wilayah perairan pedalaman yang sepenuhnya bagian dari yurisdiksi negara. Namun berdasarkan konvensi internasional disepakati bahwa di dalam suatu pelabuhan udara atau laut internasional terdapat wilayah internasional yang berfungsi sebagai sterile area, hanya orang yang telah melewati immigration clearance yang dapat masuk atau keluar melintasi garis kuning (immigration line).
Konferensi internasional tentang emigrasi dan imigrasi, tahun 1924 di Roma memberikan definisi imigrasi sebagai suatu: “Human mobility to enter a country with its purpose to make a living or for residence.” (Gerak pindah manusia memasuki suatu negeri dengan niat untuk mencari nafkah dan menetap disana).
Ketika muncul konsep negara dan kedaulatan atas suatu wilayah tertentu, maka, dalam melakukan perlintasan antarnegara, digunakan paspor yang secara harfiah berarti melewati (pintu masuk) pelabuhan. Paspor adalah pas atau izin melewati pelabuhan atau pintu masuk, yang berasal dari kata to pass yaitu melewati, dan port yaitu pelabuhan atau pintu masuk. Paspor ini biasanya memuat identitas kewarganegaraan pemegangnya. Oleh karena itu negara yang mengeluarkan berkewajiban memberi perlindungan hukum dimana pun kepada pemegang berada. Selain itu di dalam paspor dicantumkan kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mengizinkan pemegang paspor berlalu secara leluasa, memberi bantuan, dan perlindungan kepadanya di dalam melintasi batas suatu negara.
Kemudian di dalam rangka menyeleksi orang asing yang ingin masuk dan melakukan perjalanan ke negara lain, dibutuhkan visa. Istilah visa berasal dari kata Latin visum yang artinya laporan atau keterangan telah diperiksa. Kemudian, istilah visa dipergunakan sebagai istilah teknis di bidang keimigrasian yang artinya adalah cap atau tanda yang diterakan pada paspor, yang menunjukkan telah diperiksa dan disetujui oleh pejabat negara tujuan, di luar negeri, untuk memasuki negara asal pejabat negara asing itu. Pemeriksaan paspor dan visa yang tercantum di dalamnya merupakan bagian dari proses keimigrasian pada saat kedatangan orang asing di suatu negara. Dalam pernyatan sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara dan setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri dan berhak kembali kenegerinya sendiri.
Keimigrasian menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (selanjutnya disebut UU No. 9/1992) adalah hal-ihwal lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Indonesia.
Dengan menggunakan pendekatan gramatikal (tata bahasa) dan pendekatan semantik (ilmu tentang arti kata) definisi keimigrasian dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata hal diartikan sebagai keadaan, peristiwa, kejadian (sesuatu yang terjadi). Sementara ihwal diartikan sebagai perihal. Dengan demikian, hal-ihwal diartikan sebagai berbagai keadaan, peristiwa, atau kejadian.
- Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata lalu-lintas diartikan sebagai hubungan antara suatu tempat dengan tempat lain, hilir mudik, bolak-balik.
Dengan demikian, menurut UU No. 9/92 terdapat dua unsur pengaturan yang penting, yaitu:
a. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai lalu lintas orang keluar, masuk, dan tinggal dari dan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
b. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai pengawasan orang asing di wilayah Republik Indonesia.
Mengacu pada konsepsi wawasan nusantara yang antara lain menyatakan bahwa batas teritorial negara Indonesia merupakan satu kesatuan geografis baik itu berupa daratan, lautan, dan udara. Berdasarkan batas-batas teritorial negara Republik Indonesia yang diakui secara internasional maka timbal yurisdiksi hukum Indonesia atas setiap orang, benda, dan perbuatan yang berada dan terjadi dibawah dan di atas wilayah Indonesia. Operasionalisasi konsep wawasan nusantara dikaitkan dengan batas-batas teritorial ini sesuai dengan prinsip umum hukum internasional yang dikemukakan oleh Lord Macmillan yang menyatakan:
“Adalah statu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, sepeti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap orang,benda,dan perbuatan dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbal di dalam perbuatan batas-batas teritorial ini.”
Demikian pula dari sudut pandang keimigrasian bahwa dalam lingkup batas-batas teritorial, keimigrasian berfungsi untuk meminimalisasikan dampak negatif dan mendorong dampak positif dari yurisdiksi sementara (transient jurisdiction) yang timbal akibat keberadaan orang asing yang bersifat sementara itu selama berada dalam wilayah Indonesia. Peran keimigrasian seketika muncul saat orang asing melintasi batas wilayah Indonesia. Oleh karena itu fungsi keimigrasian dapat berada di darat,laut,dan udara wilayah Indonesia. Ada tempat-tempat tertentu yang ditetapkan sebagai pintu masuk atau keluar (entry point/border crossing).
Pada tempat-tempat itu dilakukan clearance yang secara universal dilaksanakan oleh Immigration (imigrasi) juga disertai fungsi-fungsi lainnya seperti Custom (Bea dan Cukai) dan Quarrantine (karantina), yang bekerja secara bersama-sama dalam suatu perlintasan. Imigrasi untuk clearance perlintasan manusia, Bea Cukai untuk clearance perlintasan kesehatan manusia,hewan,dan tumbuhan. Fungsi-fungsi ini secara internasional dikenal sebagai CIQ (Custom, Imigration, Quarrantine) dan merupakan fungsi-fungsi pokok di wilayah lintas batas territorial. Di samping juga melihat adanya fungís kepolisian dan militer yang keadaan normal bekerja sebagai fungsi supporting system. Kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sedangkan militer fungsi pertahanan. Contoh dalam pemeriksaan kapal yang berlabuh pada perairan pedalaman Indonesia sebelum menaikkan dan menurunkan orang atau barang harus terlebih dulu menaikkan bendera “N” yang berarti mempersilahkan petugas imigrasi mengadakan clearance. Tanpa clearance dari imigrasi, maka setiap orang yang Turun dari kapal dianggap secara tidak sah memasuki wilayah Indonesia dan atas tindakan itu diancam pidana. Apabila clearance telah selesai selanjutnya diikuti clearance oleh Custom dan Quarrantine. Dalam pandangan teknis imigratoir, immigration clearance diartikan sebagai penyelesaian pendaratan pada saat perlintasan di entry point (dengan pengertian pendaratan masuk atau pendaratan keluar).
Ada suatu pandangan yang salah yang beranggapan bahwa fungsi keimigrasian hanya dilakukan di pelabuhan udara atau pelabuhan laut saja. Hal ini disebabkan kita terbiasa melihat petugas imigrasi hanya bertugas pada kedua tempat itu saja. Pengertian batas teritorial negara dari sudut pandang keimigrasian, secara geografis dapat dibagi dalam pengertian:
Batas garis wilayah teritorial “luar”, yaitu batas teritorial negara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan merupakan batas-batas garis wilayah negara Indonesia yang telah ditetapkan dan diakui secara internasional sebagai batas teritorial “luar” berdasarkan: (1) UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia; (2) UU No.7/1973 tentang Landas Kontinen; (3) UU RI No.6 thn.1973 tanggal 8 Desember 1973 tentang batas antara Indonesia dengan Papua New Guniea; (4) Keppres No.89 thn.1969 tanggal 5 November 1969 tentang Batas antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam ruang lingkup ini fungsi keimigrasian pada dasarnya mempunyai tugas untuk mengamati,mengatur,dan menjaga seluruh pelintasan manusia baik masuk maupun keluar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Contoh pelintasan perbatasan darat di Entikong, Kalimantan Barat atau perlintasan laut di Kepulauan Natuna-Riau, secara fisik kedua tempat tersebut berada pada garis batas teritorial negara.
Batas garis wilayah teritorial “dalam”, yang dimaksud di sini adalah batas-batas yang terdapat di dalam area pelabuhan laut atau udara internasional yang memisahkan wilayah internasional dengan wilayah nasional. Contoh: Pada pelabuhan udara internasional seperti Bandara Sukarno Hatta-Jakarta atau Bandara Juanda-Surabaya,atau pelabuhan Tanjung Priok-Jakarta terdapat batas yang secara fisik berbentuk sebuah garis kuning (a yellow line) atau dikenal sebagai immigration line yang terdapat di depan arrival atau departure immigration counter. Di belakang garis kuning itu sampai pada pintu pesawat dapat diartikan sebagai wilayah internasional (international area atau sterile area) dan dalam pesawat/kapal laut berlaku hukum negara di mana pesawat itu terdaftar.
Dalam perspektif keimigrasian setiap orang dianggap telah melewati garis wilayah perbatasan teritorial ketika telah melewati pemeriksaan keimigrasian untuk memproses pendaratan bagi setiap pelintasan baik masuk maupun keluar. Pelabuhan udara atau laut secara fisik kedua titik tersebut berada di dalam garis wilayah batas teritorial suatu negara dan merupakan bagian dari wilayah darat atau wilayah perairan pedalaman yang sepenuhnya bagian dari yurisdiksi negara. Namun berdasarkan konvensi internasional disepakati bahwa di dalam suatu pelabuhan udara atau laut internasional terdapat wilayah internasional yang berfungsi sebagai sterile area, hanya orang yang telah melewati immigration clearance yang dapat masuk atau keluar melintasi garis kuning (immigration line).
Undang undang imigrasi
BAB 1
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau ke luar wilayah
Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik
Indonesia.
2. Wilayah
Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat wilayah Indonesia adalah
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia yang meliputi darat, laut, dan udara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Surat
Perjalanan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan
perjalanan antar negara.
4. Tempat
Pemeriksaan Imigrasi adalah pelabuhan, bandar udara, atau tempat-tempat lain
yang ditetapkan oleh Menteri sebagai tempat masuk atau ke luar wilayah
Indonesia.
5. Menteri
adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
keimigrasian.
6. Orang
Asing adalah bukan Warga Negara Republik Indonesia.
7. Visa
untuk Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah izin tertulis
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia
atau di tempat lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang
memuat persetujuan bagi orang asing untuk masuk dan melakukan perjalanan ke
wilayah Indonesia.
8. Izin
Masuk adalah izin yang diteriakan pada Visa atau Surat Perjalanan orang asing
untuk memasuki wilayah Indonesia yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi.
9. Izin
Masuk Kembali adalah izin yang diterakan pada Surat Perjalanan orang asing yang
mempunyai izin tinggal di Indonesia untuk masuk kembali ke wilayah Indonesia.
10. Tanda
Bertolak adalah tanda tertentu yang diterakan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi dalam Surat Perjalanan setiap orang yang akan meninggalkan
wilayah Indonesia.
11. Alat
Angkut adalah kapal laut, pesawat udara, atau sarana transportasi lainnya yang
lazim dipergunakan untuk mengangkut orang.
12.
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu
untuk ke luar dari wilayah Indonesia berdasakan alasan tertentu.
13.
Penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang
tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.
14. Tindakan
Keimigrasian adalah tindakan administrasi dalam bidang keimigrasian di luar
proses peradilan.
15.
Karantina Imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi orang asing yang
dikenakan proses pengusiran atau deportasi atau tindakan keimigrasian lainnya.
16.
Pengusiran atau deportasi adalah tindakan mengeluarkan orang asing dari wilayah
Indonesia karena keberadaannya tidak dikehendaki.
Pasal 2
Setiap Warga
Negara Indonesia berhak melakukan perjalanan ke luar atau masuk wilayah
Indonesia.
BAB 2
Pasal 3
Setiap orang
yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia wajib memiliki Surat Perjalanan.
Pasal 4
(1) Setiap
orang dapat ke luar wilayah Indonesia setelah mendapat Tanda Bertolak.
(2) Setiap
orang asing dapat masuk ke wilayah Indonesia setelah mendapat Izin Masuk.
Pasal 5
(1) Setiap
orang yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan oleh
Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
(2) Tempat
Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 6
(1) Setiap
orang asing yang masuk wilayah Indonesia wajib memiliki Visa.
(2) Visa
diberikan kepada orang asing yang maksud dan tujuan kedatangannya di Indonesia
bermanfaat serta tidak akan menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan
keamanan nasional.
Pasal 7
(1)
Dikecualikan dari kewajiban memiliki Visa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) adalah:
a. orang
asing warga negara dari negara yang berdasarkan Keputusan Presiden tidak
diwajibkan memiliki Visa;
b. orang
asing yang memiliki Izin Masuk Kembali;
c. kapten
atau nakhoda dan awak yang bertugas pada alat angkut yang berlabuh di pelabuhan
atau mendarat di bandar udara di wilayah Indonesia;
d. penumpang
transit di pelabuhan atau bandar udara di wilayah Indonesia sepanjang tidak ke
luar dari tempat transit yang berada di daerah Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, persyaratan dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan Visa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Pejabat
Imigrasi di Tempat Pemerikasaan Imigrasi dapat menolak atau tidak memberi izin
kepada orang asing untuk masuk ke wilayah Indonesia apabila orang asing
tersebut:
a. tidak
memiliki Surat Perjalanan yang sah;
b. tidak
memiliki Visa kecuali yang tidak berkewajiban memiliki Visa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a;
c. menderita
gangguan jiwa atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum;
d. tidak
memiliki Izin Masuk Kembali atau tidak mempunyai izin untuk masuk ke negara
lain;
e. ternyata
telah memberi keterangan yang tidak benar dalam memperoleh Surat Perjalanan
dan/atau Visa.
Pasal 9
Penanggung
jawab alat angkut yang datang atau akan berangkat ke luar wilayah Indonesia
diwajibkan untuk:
a.
memberitahukan kedatangan atau rencana keberangkatan;
b. menyampaikan
daftar penumpang dan daftar awak alat angkut yang ditandatangani kepada Pejabat
Imigrasi;
c.
mengibarkan bendera isyarat bagi kapal laut yang datang dari luar wilayah
Indonesia dengan membawa penumpang;
d. melarang
setiap orang naik atau turun dari alat angkut tanpa izin Pejabat Imigrasi
selama dilakukan pemerikasaan keimigrasian;
e. membawa
kembali ke luar wilayah Indonesia setiap orang asing yang datang dengan alat
angkutnya yang tidak mendapat Izin Masuk dari Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi.
Pasal 10
Pejabat
Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi berwenang naik ke alat
angkut yang berlabuh di pelabuhan dan mendarat di bandar udara untuk
kepentingan pemeriksaan keimigrasian.
Kerusuhan
Kerusuhan atau huru-hara terjadi kala sekelompok orang berkumpul
bersama untuk melakukan tindak kekerasan, biasanya sebagai tindak balas
terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan
terhadap sesuatu. Alasan yang sering menjadi penyebab kerusuhan termasuk
kondisi hidup yang buruk, penindasan pemerintah terhadap rakyat, konflik agama
atau etnis, serta hasil sebuah pertandingan olahraga.
Pengertian Kekerasan
Menurut Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Kekerasan (Violence berasal
dari bahasa Latin violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan
atau berkuasa) adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan
privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik yang
dilakukan secara fisik ataupun secara verbalyang mencerminkan
pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat
seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya
berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat
diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau
tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan
ini.
Sementara menurut Sosiolog,
Dr Imam B. Prasodjo melihat maraknya kekerasan akhir-akhir ini
dipengaruhi oleh banyaknya orang yang mengalami ketertindasan akibat krisis
berkepanjangan. Aksi itu juga dipicu oleh lemahnya kontrol sosial yang tidak
diikuti dengan langkah penegakkan hukum. Ini, kata Imam, ditanggapi secara
keliru oleh para pelaku tindak kejahatan. Kesan tersebut seolah message (tanda)
yang diterjemahkan bahwa hal yang terjadi akhir-akhir ini, lebih membolehkan
untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Sementara itu pada saat kontrol
sosial melemah, juga terjadi demoralisasi pihak petugas yang mestinya menjaga
keamanan. Aparat yang harusnya menjaga keamanan, justru melakukan tindak
pelanggaran. Masyarakat pun kemudian melihat bahwa hukum telah jatuh. Pada saat
yang sama masyarakat belum atau tidak melihat adanya upaya yang berarti dari
aparat keamanan sendiri untuk mengembalikan citra yang telah jatuh tersebut.
Sosiolog lain, Sardjono
Djatiman memperkirakan masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada hukum,
sistem, dan aparatnya. Ketidakpercayaan itu sudah terakumulasi sedemikian lama,
karena ketidakadilan telah menjadi tontonan masyarakat sehari-hari. Mereka yang
selama ini diam, tiba-tiba memberontak. Ketika negara yang mewakili masyarakat
sudah tidak dipercaya lagi, maka masyarakatlah yang akan mengambil alih kendali
hukum. Tentunya dengan cara mereka sendiri
Keragaman Jenis dan Definisi Kekerasan
a.
Kekerasan yang dilakukan perorangan
Perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual),
verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam
lingkup lingkungannya.
b.
Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok
Menurut Max Weber didefinisikan sebagai "monopoli,
legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni dengan alasan untuk
melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan
perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan
oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan
ekstrem (antara lain, genosida, dll.).
c.
Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik
Yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial,
ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll.)).
d.
Kekerasan dalam politik
Umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim
legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan
politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau
alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat
dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam
kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.
e.
Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of
symbolic power)
merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan
secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence) dalam
beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.
Kekerasan antara lain dapat
pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.)
yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti
orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda.
Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk
melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan pada dasarnya
tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan
dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang
terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun
tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan
antar-masyarakat) dan terorisme.
Sejak Revolusi
Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai
tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam
skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan
manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.
Secara khusus dalam
hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang kian
meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap
merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi
urusan masyarakat pada umumnya.
Transkulturasi, karena
teknologi moderen, telah berperan dalam mengurangi relativisme
moral yang biasanya berkaitan dengan nasionalisme, dan dalam konteks
yang umum ini, gerakan "antikekerasan" internasional telah semakin
dikenal dan diakui peranannya.
Faktor-faktor Pemicu Tindakan Kriminal dan Kekerasan
Ada beberapa hal yang
mempengaruhi para pelaku dalam melakukan tindakan kriminali dan kekerasan.
Faktor ekonomi mungkin yang paling berpengaruh dalam terjadi tindakan kriminal
dan keadaan ini akan semakin parah pada saat tertentu seperti misalnya pada
Bulan Puasa (Ramadhan) yang akan mendekati Hari Raya Idul Fitri. Pada saat ini
kebutuhan masyarakat akan menjadi sangat tinggi baik primer maupun skunder dan
sebagian orang lain mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutahannya dengan
melakukan tindakan kriminal dan bahkan disertai dengan tindakan
kekerasan. Dan ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi terjadinya
tindakan kriminal dan kekerasan antara lain sebagai berikut :
1. Pertentangan dan persaingan kebudayaan
Hal ini dapat memicu suatu tindakan kriminal yang mengacu pada kekerasan
bermotif SARA (Suku, Agama, Ras, Aliran) seperti yang terjadi pada kerusuhan di
Sampit antara orang Madura dan orang Kalimantan.
2. Kepadatan dan komposisi penduduk
Seperti yang terjadi di kota Jakarta, karena kepadatan dan komposisi penduk
yang sangat padat dan sangat padat di suatu tempat mengakibatkan meningkatnya
daya saing, tingkat strees, dan lain sebagianya yang berpotensi mengakibatkan
seseorang atau kelompok untuk berbuat tindakan kriminal dan kekerasan.
3. Perbedaan distribusi kebudayaan
Distribusi kebudayaan dari luar tidak selalu berdampak positif
bila diterapkan pada suatu daerah atau negara. Sebagai contoh budaya orang
barat yang menggunakan busana yang mini para kaum wanita, hal ini akan
menggundang untuk melakukan tindakan kriminal dan kekerasan seperti pemerkosaan
dan perampokan.
4. Mentalitas yang labil
Seseorang yang memiliki mentalitas yang labil pasti akan mempunyai jalan
pikiran yang singkat tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Layaknya
seorang preman jika ingin memenuhi kebutahannnya mungkin dia hanya akan
menggunakan cara yang mudah, seperti meminta pungutan liar, pemerasan dan lain
sebagainya.
5. Tingkat penganguran yang tinggi
Dikarenakan tingkat penganguran yang tinggi maka pendapatan pada suatu daerah
sangat rendah dan tidak merata. Hal ini sangat memicu seseorang atau kelompok
untuk melakukan jalan pintas dalam memenuhi kebutahannya dan mungkin dengan
cara melakukan tindak kriminal dan kekerasan.
Namun selain faktor-faktor
di atas tindakan kriminal dan kekerasan dapat terjadi jika ada niat dan
kesempatan. Maka tindak kriminal dan kekerasan dapat dilakukan oleh siapa,
tidak hanya oleh preman atau perampok, bahkan dapat dilakukan oleh orang yang
paling dekat bahkan orang yang paling dipercaya.
Dampak Dari Tindakan Kriminal dan Kekerasan
Setiap perbuatan pasti
memiliki dampak dari perbuatannya. Termasuk juga dalam tindakan kriminal dan
kekerasan yang pasti akan berdampak negatif seperti :
1. Merugikan pihak lain baik material maupun non material
2. Merugikan masyarakat secara keseluruhan
3. Merugikan Negara
4. Menggangu stabilitas
keamanan masyarakat
5. Mangakibatkan trauma kepada para korban
Dengan kata lain dampak
dari fenomena tindakan kriminal dan kekerasan ini adalah mengakibatkan
kersahaan dimasyarakat dan peran penegak hukum seperti polisi akan sangat
diandalkan untuk menangulanginya, namun peran masyarakat juga akan sangat
membantu para polisi dalam menangulangi seperti memberikan informasi dan
pengamanan lingkungan sekitarnya dengan melakukan siskamling (sistem keamanan
lingkungan) yang terintregasi dengan tokoh masyarakat dan polisi.
Ruang Lingkup Tindakan Kriminal
Dalam melakukan tindakan
kriminal biasanya dilakukan di tempat keramaian di mana banyak orang.
Karena semakin banyak kesempatan untuk melakukan tindakan kriminal.
Tempat-tempat yang biasanya terdapat preman antara lain sebagai berikut :
1.
Pasar Tradisional
Pasar tradisional merupakan salah satu tempat perekonomian
berjalan, karena di dalam pasar terdapat penjual dan pembeli yang melakukan
transaksi jual beli. Preman memandang ini sebagai lahan untuk melakukan
tindakan kriminalitas karena banyak orang membawa barang berharga. Ataupun
melakukan pungutan liar kepada lapak-lapak pedagang.
2.
Terminal Bus
Merupakan tempat yang banyak orang berdatangan ke terminal
bus untuk menuju tempat tujuan, hal ini digunakan untuk melakukan tindak
kriminal pada para penumpang bus maupun para supir bus.
3.
Stasiun Kereta Api dan Gerbong Kereta
Stasiun kereta api merupakan tempat yang sangat rampai pada
jam berangkat dan jam pulang kerja, begitu pula yang terjadi di dalam gerbong
kereta api. Setiap gerbong kereta api pasti akan selalu padat bahkan hingga
atap kereta api. Diantara ratusan penumpang kereta api pasti terselip beberapa
preman yang beraksi di stasiun maupun di dalam gerbong kereta api. Hal ini
biasanya terdapat di kereta api ekonomi.
4.
Pelabuhan
Pelabuhan merupakan tempat penyeberangan antar pulau. Disini
terdapat manusia, bus, dan truk yang akan menyeberang. Hal ini dilirik untuk
melakukan tindakan kriminal, biasanya melakukan tindak krimanal dengan cara
pembiusan atau hipnotis kepada penumpang kapal, dan melakukan pungutan liat
kepada bus dan truk yang akan memasuki pelabuhan.
5.
Jalan Raya
Merupakan tempat umum yang hampir tidak pernah sepi, biasanya
pelaku melakukan tindak krimanal pada persimpangan jalan yang tidak ada
pengamanan dari polisi, dimana mobil terhenti pada lampu lalu lintas. Biasanya
hal ini dilakukan pada malam hari.
Pada saat ini banyak para
pelaku melakukan tindakan kriminal secara berkelompok, namun ada juga yang
masih melakukan tindakan kriminal secara individu. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dalam melakukan tindakan kriminal dan para pelaku terbagi atas
wilayah kekuasaan yang telah terbagi dan terorganisasi. Setiap wilayah terdapat
seorang pemimpin yang mengkoordinasikan para anak buahnya dalam melakukan
tindakan kriminal. Khusus tindakan pungutan liar setiap wilayah wajib
menyetorkan hasilnya kepada pimpinannya yang kemudian disetorkan kepada oknum.
Hal ini dilakukan agar para pelaku tindak kriminal dapat perlindungan dan
wewenang dalam satu wilayah.
penyelesian masalah
Setiap permasalahan pasti
ada cara untuk mengatasinya dan ada beberapa cara untuk mengatasi tindak
kriminal dan kekerasan, diantaranya sebagai berikut :
1. Mengenakan sanksi
hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas tanpa pandang bulu
atau derajat. Hal ini akan sangat ampuh untuk memberikan efek jera kepada para
pelaku agar tidak mengulangi kembali tindakannya
2. Mengaktifkan
peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik anak. Dikarenakan
hal ini merupakan dari pencegahan sejak dini untuk mencegah terjadinya tindakan
kriminal dan mencegah menjadi pelaku tindakan kriminal.
3. Selektif terhadap
budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai budaya bangsa sendiri. Karena
setiap budaya luar belum tentu baik untuk budaya kita, misalnya berbusana mini,
berprilaku seperti anak punk, dan lain sebagainya.
4. Menjaga
kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai sejak dini
melalui pendidikan multi kultural , seperti sekolah , pengajian dan organisasi
masyarakat.
5. Melakukan
pelatihan atau kursus keahlian bagi para pelaku tindak kriminal atau
penganguran agar memiliki keterampilan yang dapat dilakukan untuk mencari
lapangan pekerjaan atau melakukan wirausaha yang dapat membuka lapangan kerja
baru.
Solusi ini akan berjalan
baik bila peran serta pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan
ini. Dan semua pihak harus melakukan rekonsiliasi untuk memulihkan ekonomi
terutama dengan masyarakat kelas bawah dan harus diingat bahwa kemerosotan
ekonomi mengakibatkan tingkat kejahatan meningkat.
Selain itu, perlu juga
mempolisikan masyarakat. Artinya, ada fungsi pengamanan dan pencegahan
kejahatan yang dijalankan oleh masyarakat. Kondisi sekarang sangat
memprihatinkan; masyarakat seolah tidak peduli apabila terjadi kejahatan di
sekelilingnya, bahkan di depan matanya, sikap tak acuh masyarakat itu dalam
kerangka psikologi sosial dapat dipahami. dalam masyarakat modern telah ada
semacamshare of responsibility. Tugas keamanan telah diambil alih oleh
agen-agen formal, yakni polisi itu sendiri. Dalam kerangka itu juga dapat
difahami jika kita tidak lagi bisa berharap pada lembaga informal seperti tokoh
masyarakat untuk mengendalikan keamanan karena peran-peran institusi informal
telah diruntuhkan oleh pemerintah.
Mencegah Tindakan Kriminal dan Kekerasan
Ada baiknya mencegah dari
pada mengalami tindakan kriminal dan kekerasan. Berikut beberapa cara untuk
mencegah atau menghindari tindakan kriminal dan kekerasan :
1. Tidak
memakai perhiasan yang berlebih
2. Jangan
mudah percaya kepada orang baru dikenal
3. Tidak
berpenampilan terlalu mencolok
4. Bila
berpergian ada baiknya tidak sendirian
5. Menguasai
ilmu bela diri
Cara meningkatkan
rasa niasionalsme di kalangan mahasiswa
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris
"nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk
sekelompok manusia.
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan
beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari
teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang
menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau
gabungan kedua teori itu.
Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola
pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama
dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri
mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan
negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal
tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun
tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang
atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh
dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.
Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada
amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik
serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik
biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem
seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.
Cara meningkatkan rasa nasionalisme menurut saya bangga
dengan negara sendiri. Bangga akan produk negara sendiri, menjaga alam
indonesia dari tangan tangan yang tidak bertanggung jawab . mungkin memang
indonesia memang belum terlalu maju. Tapi dengan memiliki rasa nasionalisme
para penerus negara seperti anak sekolah dan mahasiswa akan menjadikan
indonesia menjadi negara maju yang bersaing dengan negara maju lainnya.
sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme
http://yaeldaa.blogspot.com/2012/05/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html
http://kuthokudemak.blogspot.com/2009/06/apakah-imigrasi-itu.html
http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/uu_imigrasi/uu_imigrasi_index.htm
http://kobi-kobi.tripod.com/news.html#_ftn24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar