Rabu, 23 Maret 2011

Gempa Besar Intai Siberut

Gempa Besar Intai Siberut

Hampir 15 tahun lalu para ahli geologi Jepang telah memprediksi terjadinya gempa besar dan tsunami yang meluluhlantakkan kota-kota di sepanjang pesisir timur Negeri Sakura itu pada Jumat (11/3/2011). Mereka tahu, patahan Sendai merupakan sumber petaka itu.

Peringatan serupa juga diingatkan sejumlah pakar akan bahaya gempa besar di patahan Siberut, Mentawai, Sumatera Barat. Tiga tahun silam, Sumbar telah mengkaji dampak terburuk dari bencana gempa dan tsunami yang berpotensi menghantam enam kabupaten/kota di pesisir pantai. Bahaya itu dituangkan dalam rencana kontijensi Sumbar dalam menangani bencana.
“Ancaman Siberut semakin nyata, kita perlu bertegas-tegas menyampaikan ini walaupun belum tentu masyarakat dapat menerimanya. Ini serius,” kata Kepala Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana BPBD Sumbar Ade Edward pada VIVAnews.com, Selasa (15/3/2011).
Dalam rencana kontijensi ini disebutkan, jika koordinasi mitigasi bencana tidak berjalan maksimal, 40 ribu jiwa akan menjadi korban dalam bencana gempa Siberut. Seberapa siapkah Sumbar menghadapi bencana ini?
Belajar dari gempa dan tsunami yang menghantam Jepang, Sumbar belum memiliki peralatan maksimal mengurangi risiko korban bencana. Keterbatasan alat peringatan dini menjadi persoalan mendasar yang hingga saat ini belum dibangun hingga menyentuh elemen masyarakat bawah.
Peringatan dini yang terpasang saat ini baru sebatas pada tingkat hulu (provinsi). Di enam kabupaten/kota di pesisir Samudera Hindia, belum satu pun manajemen peringatan dini berbasis komunikasi publik yang terpasang. “Saat ini, baru Mentawai memiliki jaringan komunikasi bencana yang terintegrasi dengan provinsi dan BNPB. Padang, Pesisir Selatan, Agam, Pariaman, Pasaman, belum punya,” kata Ade.
Ada empat hal yang mesti dibangun untuk mengurangi risiko bencana Siberut. Keempat hal pkok tersebut menurut Ade yakni: menyiapkan sistem peringatan dini bersifat umum, menyiapkan petugas yang cakap, peralatan tanggap darurat, pendidikan masyarakat.
Hal ini membedakan Jepang dengan kondisi di Sumbar saat ini. Meskipun informasi dari sejumlah ahli atau pakar gempa terkait potensi gempa Siberut telah diutarakan pasca gempa dan tsunami Aceh 2004 lalu, antisipasi yang dilakukan belum maksimal.
“Kita belum maksimal, tapi kita tetap berusaha membangun kesiapsiagaan ini. Peran masyarakat juga dibutuhkan untuk hal ini, jangan berharap pada pemerintah semata,” katanya. Ia berharap, masyarakat Sumbar berpikir positif dalam menerima sejumlah informasi potensi gempa Siberut.
Kondisi tersebut, menurutnya, akan memberikan peluang lebih besar untuk mengurangi dampak korban akibat bencana. Ia mengaku, posisi pemerintah menjadi serba salah saat menyampaikan potensi gempa di Siberut. “Didiamkan dengan alasan menjaga kestabilan warga kita keliru. Diutarakan, masyarakat juga mencap kita menakut-nakuti,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar