Jumat, 11 Maret 2011

Sepeda fixie




Sepeda fixie


Setelah sepeda lipat, dunia persepedaan kini dihinggapi virus fixie (fixed gear). Mengikuti jejak gerakan kembali ke alam, fixie pun mengajak pesepeda untuk kembali ke awal mula sepeda. Sederhana dan minimalis.

Bentuknya yang minimalis dan warna ngejreng membuatnya tampak seksi. Tak ada lilitan kabel berjubel layaknya sepeda masa kini. Kalaupun ada kabel, itu hanya untuk rem depan. Begitu juga dengan gir di depan atau belakang cuma ada satu lingkaran. Lalu, bagaimana menghentikan laju sepeda ini jika tidak ada rem? Karena girnya dibuat mati (fixed) yang berarti pedal berputar mengikuti putaran as roda belakang, maka untuk menghentikan laju sepeda ini cukup dengan memutar pedal ke belakang.
Bentuk gir yang mati itulah yang membedakan fixie dengan sepeda pada umumnya. Bahkan dengan sepeda satu kecepatan atau single speed yang secara fisik mirip. Ada yang mengacaukan antara single speed dengan fixie. Fixie bisa masuk kelompok sepeda single speed, tapi sepeda single speed belum tentu sepeda fixie. Begitupun fixie belum tentu single speed. Soalnya ada juga fixie yang multi speed menggunakan internal hub (Intisari Maret 2010).

Memang, kebanyakan fixie adalah single speed. Bingung? Jika Anda jeli saat bersepeda di “Hari Bebas Kendaraan” di Jakarta atau kota-kota lain, jenis sepeda seperti ini mulai banyak bermunculan. Di Jakarta sendiri saat “Hari Bebas Kendaraan” itu, kelompok penunggang fixie ini akan berkumpul di seputaran Bundaran HI sebelum gowes bareng. Sedangkan pada Rabu malam mereka akan kumpul bersama di Taman Menteng.

Pasang rem depan
Salah satu ciri sepeda fixie memang pada pedal yang tidak bisa digerakkan mundur dengan leluasa saat melaju. Soalnya, gir “diikat” secara mati ke as roda (hub) belakang. Jadi, seberapa kencang hub berputar, ya segitu juga kencangnya pedal berputar. Untuk menghentikan laju sepeda ya tinggal menekan pedal ke belakang alias melawan putaran kayuhan. Susah? Akan lebih susah lagi manakala sepeda melaju di turunan sebab butuh tenaga yang besar untuk melawan putaran pedal.

Sepeda fixie yang menjamur saat ini berawal dari sepeda lintasan (track bike) yang digunakan di velodrome. Di Inggris, sekitar tahun 1950-an, sepeda fixie digunakan para atlet sepeda time trial untuk melatih kayuhan karena sifat pedal sepeda fixie yang terus berputar. Kepopuleran sepeda fixie memudar ketika menjamurnya sepeda dengan banyak gir yang dapat mengakomodasi kenyamanan bersepeda di tahun 1960-an.

Pertengahan tahun 2000-an, fixie mulai naik ke permukaan, khususnya di perkotaan wilayah Amerika Utara. Populernya fixie dikaitkan dengan sepeda “pak pos” (messenger bike). Di perkotaan, mengantar dokumen menjadi persoalan terkait dengan kemacetan dan biaya parkir yang tinggi. Dengan sepeda, kemacetan bisa di-trabas dan tidak butuh biaya parkir.

Seperti disinggung di atas, kebanyakan gir fixie adalah tunggal. Namun ada juga pabrikan yang membuat sepeda fixie dengan banyak gir alias banyak kecepatan. Sturmey Archer misalnya. Di samping itu, beberapa sepeda fixie menggunakan dua gir di setiap sisi hub belakang, yang membuat pengendara memiliki dua pilihan perbandingan gir depan dan belakang. (Perbandingan gir ini akan menentukan kecepatan laju dan juga berat ringannya kayuhan saat sepeda melaju. Semakin besar gir depan dan semakin kecil gir belakang maka sepeda akan cepat melaju namun kayuhan menjadi berat).

Hub seperti itu ada yang memiliki gir mati di dua sisinya (double-fixed) atau gir mati di satu sisi dan gir hidup (freewheel) di sisi lain. Kombinasi terakhir ini disebut dengan hub flip-flop. Jika capai dengan gir mati, tinggal membalik ban belakang jadilah sepeda satu kecepatan.

Lalu, apa alasan orang menggowes sepeda fixie? Ada banyak tentunya. Bobotnya yang enteng, kesederhanaan, dan perawatan yang mudah adalah beberapa contoh alasan. Seperti yang diakui oleh Fredy, yang ikut-ikutan membangun fixie meski ternyata salah (lihat boks: “Antara ‘Doltrap’ dan Torpedo”). “Simpel dan mudah perawatannya,” begitu katanya.

Meski hanya memiliki satu gir, bobotnya yang ringan bisa menjadi kompensasi sehingga bisa melaju dengan kencang juga. Hanya saja, yang butuh perhatian saat menggowes fixie adalah pas turunan dan berbelok. Karena pedal berputar terus, bisa dibayangkan kalau pas berbelok ke kiri misalnya, posisi pedal kiri ada di bawah. Pedal yang nyangkut ke tanah bisa mengakibatkan celaka pengendaranya.

Untuk mengatasi turunan, mau tak mau harus memasang rem. Kecuali sudah jago banget. Soal rem ini sempat menjadi “pembicaraan sengit” di sebuah forum maya. Rem mana yang dipasang, alangkah baiknya kalau rem depan. Mengapa? Sebelum membaca jawaban pertanyaan ini, cobalah perhatikan kendaraan di sekitar kita. Motor misalnya, jika memiliki satu rem cakram bawaan pabrik pasti dipasang di roda depan. Begitu juga dengan mobil. Rem cakram ditaruh di depan sementara untuk roda belakang hanya digunakan rem tromol atau rem drum; dan kita tahu rem cakram lebih “menggigit” dibandingkan dengan rem tromol.

Saat kita mengerem sebuah kendaraan yang sedang melaju, titik gravitasi kendaraan itu akan berpindah ke depan. Hal ini bisa dirasakan saat kita di dalam kendaraan yang direm mendadak, tubuh kita akan terdorong ke depan. Akibat berpindahnya titik gravitasi itu, maka roda bagian belakang terangkat. Untuk kendaraan berat tentu tidak kentara. Berbeda dengan sepeda.

Nah, apa gunanya mengerem roda belakang yang kehilangan daya gigit ke permukaan? Dengan mengerem laju roda depan, maka kendaraan pun akan lebih cepat berhenti. Kalaupun ada rem belakang, maka porsi pengereman pun tetap lebih banyak untuk rem depan. Ada yang menggunakan rumus 75-25 (75% pengereman roda depan, dan 25% roda belakang) atau 60-40 (60% rem depan, 40% rem belakang).

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, maupun Australia, setiap sepeda wajib memiliki rem jika digunakan di jalan raya.

Hati-hati, dengkul bisa cedera
Untuk memperoleh sepeda fixie kita bisa beli jadi atau membangun sendiri. Masing-masing ada plus-minusnya. Beli jadi selain mahal belum tentu sesuai selera. Sementara kalau membangun sendiri biaya bisa kita kontrol, asal sedikit sabar dalam berburu komponen-komponennya.

Kalau mau lebih murah lagi menggunakan komponen-komponen bekas. Hampir semua teman saya yang membangun sepeda fixie menggunakan frame (rangka sepeda) lawas.
Karena sepeda fixie lebih ditentukan pada sistem penggeraknya, maka tak ada rumus baku untuk rangka fixie.

Maksudnya mau menggunakan rangka balap silakan, mau rangka sepeda gunung (MTB) boleh. Bahkan ada yang memodifikasi dari rangka sepeda ceper (low rider). Berbeda dengan jenis sepeda lainnya yang justru perbedaannya terletak pada rangka sepeda. Rangka sepeda gunung tentu berbeda dengan rangka sepeda balap, misalnya. Bahkan ada bengkel yang siap membikinkan rangka fixie dari besi. Berat memang.

Bagi yang ingin membangun sendiri fixie-nya, ada baiknya menyimak acuan yang disampaikan oleh Rangga Panji (moderator forum “Singlespeed dan Fixie” sepedaku.com) di situs hai-online.com. Acuan itu ada tiga: ringan, kuat, dan murah. Sayangnya, kita hanya bisa memilih dua dari tiga kata tadi. Kalau memilih kuat namun ringan, jatuhnya akan mahal alias tidak murah. Atau kalau memilih kuat tapi murah, sudah pasti enggak enteng. Mau enteng dan murah, ya tidak kuat. Pilihan kembali kepada Anda dan Mbak Dana (maksudnya uang yang tersedia).

Pada beberapa kasus, rangka bekas tadi tidak dipertahankan utuh. Banyak yang merekacipta lagi sehingga bentuknya lebih bagus. Seperti toptube (planthangan kalau orang Jawa bilang) yang dibikin pipih, tidak membulat seperti aslinya. Agar tampil menarik, warna-warna centil pun dibalurkan ke tubuh fixie. Bahkan rantai dan jari-jari pun sekarang sudah ada yang menyediakan dalam warna tak umum. Ada yang warna kuning, merah, hijau, atau biru. Jika tidak ada yang sesuai, ya langsung dicat saja sekalian bersama rangkanya. Biar senada dengan komponen lainnya.

Semaraknya sepeda fixie bisa dilihat di salah satu bengkel yang berada di bilangan Kebayoranlama, Jakarta Selatan. Bengkel yang dulunya menangani pengecatan motor Vespa dan pembuatan pagar besi itu kini kebanjiran order membikin sepeda fixie. Pemilik bengkel mengakui banyak order merakit fixie sampai butuh waktu semingguan sampai orderan kita selesai dikerjakan.

Tak hanya mengecat ulang dan membikin fork ala fixie. Merombak total sebuah rangka pun dikerjakan. Bahkan sebuah rangka Federal lama dipotong bagian top tube, down tube, dan seat tube (bagian segitiga depan) dan diganti dengan besi pipih. Rangka asli hanya tersisa di bagian belakang yang menjadi dudukan roda belakang. Kesannya menjadi kekar.

Jika fixie sudah jadi atau terbeli, saatnya menggowes. Pertama tentunya kagok sebab kaki tidak bisa istirahat mengayuh. Mengerem dengan melawan putaran pedal juga bukan perkara mudah. Butuh fisik dan dengkul yang kuat buat ngerem sepeda fixie. Jika sudah mahir, fixie bisa dihentikan dengan model selip (skid stop). Yang jelas, kudu diingat bahwa mengerem menggunakan kaki bisa menyebabkan dengkul cedera. Jangan sampai mau gaya tapi malah celaka!


Setelah sepeda lipat, dunia persepedaan kini dihinggapi virus fixie (fixed gear). Mengikuti jejak gerakan kembali ke alam, fixie pun mengajak pesepeda untuk kembali ke awal mula sepeda. Sederhana dan minimalis.

Bentuknya yang minimalis dan warna ngejreng membuatnya tampak seksi. Tak ada lilitan kabel berjubel layaknya sepeda masa kini. Kalaupun ada kabel, itu hanya untuk rem depan. Begitu juga dengan gir di depan atau belakang cuma ada satu lingkaran. Lalu, bagaimana menghentikan laju sepeda ini jika tidak ada rem? Karena girnya dibuat mati (fixed) yang berarti pedal berputar mengikuti putaran as roda belakang, maka untuk menghentikan laju sepeda ini cukup dengan memutar pedal ke belakang.
Bentuk gir yang mati itulah yang membedakan fixie dengan sepeda pada umumnya. Bahkan dengan sepeda satu kecepatan atau single speed yang secara fisik mirip. Ada yang mengacaukan antara single speed dengan fixie. Fixie bisa masuk kelompok sepeda single speed, tapi sepeda single speed belum tentu sepeda fixie. Begitupun fixie belum tentu single speed. Soalnya ada juga fixie yang multi speed menggunakan internal hub (Intisari Maret 2010).

Memang, kebanyakan fixie adalah single speed. Bingung? Jika Anda jeli saat bersepeda di “Hari Bebas Kendaraan” di Jakarta atau kota-kota lain, jenis sepeda seperti ini mulai banyak bermunculan. Di Jakarta sendiri saat “Hari Bebas Kendaraan” itu, kelompok penunggang fixie ini akan berkumpul di seputaran Bundaran HI sebelum gowes bareng. Sedangkan pada Rabu malam mereka akan kumpul bersama di Taman Menteng.

Pasang rem depan
Salah satu ciri sepeda fixie memang pada pedal yang tidak bisa digerakkan mundur dengan leluasa saat melaju. Soalnya, gir “diikat” secara mati ke as roda (hub) belakang. Jadi, seberapa kencang hub berputar, ya segitu juga kencangnya pedal berputar. Untuk menghentikan laju sepeda ya tinggal menekan pedal ke belakang alias melawan putaran kayuhan. Susah? Akan lebih susah lagi manakala sepeda melaju di turunan sebab butuh tenaga yang besar untuk melawan putaran pedal.

Sepeda fixie yang menjamur saat ini berawal dari sepeda lintasan (track bike) yang digunakan di velodrome. Di Inggris, sekitar tahun 1950-an, sepeda fixie digunakan para atlet sepeda time trial untuk melatih kayuhan karena sifat pedal sepeda fixie yang terus berputar. Kepopuleran sepeda fixie memudar ketika menjamurnya sepeda dengan banyak gir yang dapat mengakomodasi kenyamanan bersepeda di tahun 1960-an.

Pertengahan tahun 2000-an, fixie mulai naik ke permukaan, khususnya di perkotaan wilayah Amerika Utara. Populernya fixie dikaitkan dengan sepeda “pak pos” (messenger bike). Di perkotaan, mengantar dokumen menjadi persoalan terkait dengan kemacetan dan biaya parkir yang tinggi. Dengan sepeda, kemacetan bisa di-trabas dan tidak butuh biaya parkir.

Seperti disinggung di atas, kebanyakan gir fixie adalah tunggal. Namun ada juga pabrikan yang membuat sepeda fixie dengan banyak gir alias banyak kecepatan. Sturmey Archer misalnya. Di samping itu, beberapa sepeda fixie menggunakan dua gir di setiap sisi hub belakang, yang membuat pengendara memiliki dua pilihan perbandingan gir depan dan belakang. (Perbandingan gir ini akan menentukan kecepatan laju dan juga berat ringannya kayuhan saat sepeda melaju. Semakin besar gir depan dan semakin kecil gir belakang maka sepeda akan cepat melaju namun kayuhan menjadi berat).

Hub seperti itu ada yang memiliki gir mati di dua sisinya (double-fixed) atau gir mati di satu sisi dan gir hidup (freewheel) di sisi lain. Kombinasi terakhir ini disebut dengan hub flip-flop. Jika capai dengan gir mati, tinggal membalik ban belakang jadilah sepeda satu kecepatan.

Lalu, apa alasan orang menggowes sepeda fixie? Ada banyak tentunya. Bobotnya yang enteng, kesederhanaan, dan perawatan yang mudah adalah beberapa contoh alasan. Seperti yang diakui oleh Fredy, yang ikut-ikutan membangun fixie meski ternyata salah (lihat boks: “Antara ‘Doltrap’ dan Torpedo”). “Simpel dan mudah perawatannya,” begitu katanya.

Meski hanya memiliki satu gir, bobotnya yang ringan bisa menjadi kompensasi sehingga bisa melaju dengan kencang juga. Hanya saja, yang butuh perhatian saat menggowes fixie adalah pas turunan dan berbelok. Karena pedal berputar terus, bisa dibayangkan kalau pas berbelok ke kiri misalnya, posisi pedal kiri ada di bawah. Pedal yang nyangkut ke tanah bisa mengakibatkan celaka pengendaranya.

Untuk mengatasi turunan, mau tak mau harus memasang rem. Kecuali sudah jago banget. Soal rem ini sempat menjadi “pembicaraan sengit” di sebuah forum maya. Rem mana yang dipasang, alangkah baiknya kalau rem depan. Mengapa? Sebelum membaca jawaban pertanyaan ini, cobalah perhatikan kendaraan di sekitar kita. Motor misalnya, jika memiliki satu rem cakram bawaan pabrik pasti dipasang di roda depan. Begitu juga dengan mobil. Rem cakram ditaruh di depan sementara untuk roda belakang hanya digunakan rem tromol atau rem drum; dan kita tahu rem cakram lebih “menggigit” dibandingkan dengan rem tromol.

Saat kita mengerem sebuah kendaraan yang sedang melaju, titik gravitasi kendaraan itu akan berpindah ke depan. Hal ini bisa dirasakan saat kita di dalam kendaraan yang direm mendadak, tubuh kita akan terdorong ke depan. Akibat berpindahnya titik gravitasi itu, maka roda bagian belakang terangkat. Untuk kendaraan berat tentu tidak kentara. Berbeda dengan sepeda.

Nah, apa gunanya mengerem roda belakang yang kehilangan daya gigit ke permukaan? Dengan mengerem laju roda depan, maka kendaraan pun akan lebih cepat berhenti. Kalaupun ada rem belakang, maka porsi pengereman pun tetap lebih banyak untuk rem depan. Ada yang menggunakan rumus 75-25 (75% pengereman roda depan, dan 25% roda belakang) atau 60-40 (60% rem depan, 40% rem belakang).

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, maupun Australia, setiap sepeda wajib memiliki rem jika digunakan di jalan raya.

Hati-hati, dengkul bisa cedera
Untuk memperoleh sepeda fixie kita bisa beli jadi atau membangun sendiri. Masing-masing ada plus-minusnya. Beli jadi selain mahal belum tentu sesuai selera. Sementara kalau membangun sendiri biaya bisa kita kontrol, asal sedikit sabar dalam berburu komponen-komponennya.

Kalau mau lebih murah lagi menggunakan komponen-komponen bekas. Hampir semua teman saya yang membangun sepeda fixie menggunakan frame (rangka sepeda) lawas.
Karena sepeda fixie lebih ditentukan pada sistem penggeraknya, maka tak ada rumus baku untuk rangka fixie.

Maksudnya mau menggunakan rangka balap silakan, mau rangka sepeda gunung (MTB) boleh. Bahkan ada yang memodifikasi dari rangka sepeda ceper (low rider). Berbeda dengan jenis sepeda lainnya yang justru perbedaannya terletak pada rangka sepeda. Rangka sepeda gunung tentu berbeda dengan rangka sepeda balap, misalnya. Bahkan ada bengkel yang siap membikinkan rangka fixie dari besi. Berat memang.

Bagi yang ingin membangun sendiri fixie-nya, ada baiknya menyimak acuan yang disampaikan oleh Rangga Panji (moderator forum “Singlespeed dan Fixie” sepedaku.com) di situs hai-online.com. Acuan itu ada tiga: ringan, kuat, dan murah. Sayangnya, kita hanya bisa memilih dua dari tiga kata tadi. Kalau memilih kuat namun ringan, jatuhnya akan mahal alias tidak murah. Atau kalau memilih kuat tapi murah, sudah pasti enggak enteng. Mau enteng dan murah, ya tidak kuat. Pilihan kembali kepada Anda dan Mbak Dana (maksudnya uang yang tersedia).

Pada beberapa kasus, rangka bekas tadi tidak dipertahankan utuh. Banyak yang merekacipta lagi sehingga bentuknya lebih bagus. Seperti toptube (planthangan kalau orang Jawa bilang) yang dibikin pipih, tidak membulat seperti aslinya. Agar tampil menarik, warna-warna centil pun dibalurkan ke tubuh fixie. Bahkan rantai dan jari-jari pun sekarang sudah ada yang menyediakan dalam warna tak umum. Ada yang warna kuning, merah, hijau, atau biru. Jika tidak ada yang sesuai, ya langsung dicat saja sekalian bersama rangkanya. Biar senada dengan komponen lainnya.

Semaraknya sepeda fixie bisa dilihat di salah satu bengkel yang berada di bilangan Kebayoranlama, Jakarta Selatan. Bengkel yang dulunya menangani pengecatan motor Vespa dan pembuatan pagar besi itu kini kebanjiran order membikin sepeda fixie. Pemilik bengkel mengakui banyak order merakit fixie sampai butuh waktu semingguan sampai orderan kita selesai dikerjakan.

Tak hanya mengecat ulang dan membikin fork ala fixie. Merombak total sebuah rangka pun dikerjakan. Bahkan sebuah rangka Federal lama dipotong bagian top tube, down tube, dan seat tube (bagian segitiga depan) dan diganti dengan besi pipih. Rangka asli hanya tersisa di bagian belakang yang menjadi dudukan roda belakang. Kesannya menjadi kekar.

Jika fixie sudah jadi atau terbeli, saatnya menggowes. Pertama tentunya kagok sebab kaki tidak bisa istirahat mengayuh. Mengerem dengan melawan putaran pedal juga bukan perkara mudah. Butuh fisik dan dengkul yang kuat buat ngerem sepeda fixie. Jika sudah mahir, fixie bisa dihentikan dengan model selip (skid stop). Yang jelas, kudu diingat bahwa mengerem menggunakan kaki bisa menyebabkan dengkul cedera. Jangan sampai mau gaya tapi malah celaka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar