Rabu, 13 April 2011
Rini Asmara
Ketika didaulat naik ke atas panggung oleh Indah Winar—penyanyi blues yang malam itu tampil di kafe tersebut—Rini Asmara memainkan beberapa lagu, bahkan sembari bernyanyi; sehingga membuka ruang sejarah yang hampir hilang di beberapa dekade silam. Saya pun mencoba kembali melihat scene musik rock tanah air di era akhir ‘70an. Menguak itu dari kacamata beliau, laksana membuka kotak hitam dari pesawat yang hilang. “Tahun ‘70 sampai dengan tahun ‘80an musik rock yang berkiprah. Musik rock tegas, full power, dan tidak membosankan. Dinamis, atraktif. Rock top!” ujar Rini Asmara mengenang.
Adalah sebuah fakta—meski generasi ini sedikit sekali yang mengenalnya—Rini Asmara merupakan penabuh drum yang telah malang-melintang di panggung-panggung musik tanah air. Juga sempat bergabung bersama musisi-musisi lain; dari Sylvia Saartje hingga Atiek CB pernah diiringinya. Nama beliau hampir sama sekali terlupakan oleh generasi sekarang yang terhipnotis oleh musik-musik dominan. Dan saat telinga publik dininabobokan oleh musik ecek-ecek, beberapa orang memilih jalan kembali ke masa lalu untuk sekedar bernostalgia; mengenang bahwa di dekade silam pernah kita memiliki musisi-musisi wanita yang luar biasa.
Di ranah musik rock pada khususnya, tentu sedikit sekali pada jaman itu untuk menemukan wanita yang piawai menabuh drum—alat musik yang identik dengan laki-laki. Tapi Rini Asmara berhasil mendobrak stereotip itu. “Saya mulai mengenal musik pada tahun 1970. Waktu saya masih remaja, orang tua saya membentuk sebuah grup band di Pabrik Gula Karang Suwung, Cirebon. Papih saya main biola, saya nyanyi. Sebelum tertarik alat musik drum saya hanya nyanyi, karena latihan di rumah saya sendiri. Saya mulai tertarik dengan drum karena yang saya liat, kok kaki kiri dan kanan juga tangan kiri kanan semua bergerak? Dan pada saat itu saya langsung tertarik. Saya juga liat piringan hitam Dara Puspita. Saya sangat tertarik sekali untuk pegang dan belajar drum. Waktu itu saya berumur 13 tahun,” aku Rini Asmara.
Pengalaman memang tak bisa dihentikan pun kecintaan pada musik itu sendiri. Dan sejarah tak pernah berdusta. Dari semua drummer wanita di negeri ini, maka Rini Asmara sangat layak disebut sebagai sang katalis. “Lagu-lagu yang saya pelajari di awal seperti “My Way”, “In The Morning”, “I Saw Her Standing There”, “Aldila”. Setelah lumayan bisa memainkan drum saya tertarik dengan musik Deep Purple, Rolling Stones, Led Zepellin. Koes Ploes, D’Lloyd. Rhapsody, James Brown dan Suzi Quatro. Saya tertarik main drum sama seperti saya tertarik untuk bisa main gendang. Karena sangat mengasyikan menurut saya,” kenangnya.
Tersebutlah di tahun 1973, Rini Asmara pindah ke Jakarta lalu membentuk grup musik Anita Tourisia dengan memainkan lagu-lagu milik sang ratu blues, Janis Joplin. Tapi itu tidak berlangsung lama. Bersama Euis Darliah (vokal), Reza Anggoman (keyboard), Ninik Kastanya (ryhtm/saxophone), dan Evi Martha (bass/vokal); mereka lalu tergabung dalam Antiq Clique; yang dipimpin oleh seorang wartawan senior Albert Situmorang. Antiq Clique sempat menggelar panggung di Jakarta, Bandung, Palembang, bahkan di Medan.
Lalu pada tahun 1976, Mashery Mansyur yang juga seorang wartawan membentuk band rock wanita dengan nama The Orchid; yang melambungkan nama Sylvia Saartje sebagai vokalis rock wanita—momentum bagi kelahiran rocker-rocker wanita sesudahnya. Selain Sylvia Saartje, turut bergabung Reza Anggoman (keyboard), Rini Asmara (drum), Senny (bass), Lis April (gitar), dan Lenny (gitar). The Orchid sempat mendapat kontrak bermain di beberapa tempat hingga kemudian bubar. “Kami kumpul di rumah saya dan (The Orchid) terbentuk di Kramat Sentiong. Hanya sempat beberapa kali show,” cerita Rini Asmara tentang The Orchid.
Setelah The Orchid bubar, Rini Asmara lalu membentuk band Ress Lady Rock; kembali bermain bersama Reza Anggoman, Elvira Anggoman, Senny Zebua dan Sondang Simanjuntak. “Kami show di Palembang bareng Nicky Astria. Pernah juga sepanggung bersama Grass Rock dan Jet Liar di Surabaya,” terawangnya.
Dengan nama Ress Lady Rock tentu dapat dipastikan arti semantik dari nama band ini. Sungguh menakjubkan dengan kenyataan saat ini, ketika industri musik dibanjiri musik yang itu-itu saja, ternyata di masa lalu kita bisa merasakan keberuntungan dengan memiliki mereka. Ress Lady Rock beberapa kali tampil sepanggung bersama Atik CB, Ita Purnamasari, juga Acid Speed saat melakukan pertunjukan di Solo, Salatiga dan sekitarnya; dengan promotor Yudi NH. Bahkan mereka pernah berbagi panggung bersama SAS (Soenata Tandjung, Arthur Kaunang dan Syech Abidin—red).
Rini Asmara tak lagi muda. Tapi sederetan pengalaman telah bersimbah di jalan yang dilaluinya. Termasuk prestasi luar biasa yang ditulis oleh ibu tiga anak ini ketika berhasil mengukir rekor 7,5 jam menabuh drum tanpa henti di tahun 2001. Mengiringi beberapa artis dari beragam genre musik; bekerja sama dengan Reny Jayusman Enterprise, juga Yayasan Seni dan Budaya, dan didukung oleh artis-artis lokal.“Niatan saya memecahkan rekor memang sudah sejak tahun 1995. Saat itu suami saya Andre D’Lloyd masih ada. Tapi semua itu belum dapat terealisasi, hanya tertulis di secarik kertas saja. Beberapa tahun kemudian saya teringat lagi dan saya mulai mengurai konsepnya, yang kemudian ditanggapi oleh Pak Bahar dan Budi dari Yayasan Seni dan Budaya. Semangat saya timbul kembali untuk merealisasikan niat tersebut,” ujar beliau.
Sejarah adalah kisah. Dan barangkali tidak semua kisah itu akan berakhir indah. Namun, prestasi merupakan sesuatu yang tidak bisa disangkal oleh teori apapun. Rini Asmara adalah kisah tersendiri bagi industri musik negeri ini. Luapan-luapan kekaguman tak akan berhenti meski industri musik masih lelap dalam tidur panjangnya. Saat dinasti rock mengalami degradasi hampir bisa dipastikan bahwa generasi ini tak lagi mengenal nama beliau.
“Saya ingin menjadi bagian dari Kartini-Kartini Indonesia. Saya kagum dengan pelopor-pelopor wanita Indonesia. Mereka luar biasa! Saya hanya bisa beating drum. Ini saja saya bersyukur dan berterima kasih kepada Allah karena mengabulkan keinginan saya. Juga terima kasih kepada Reny Jayusman Enterprise, serta dukungan dari Bapak Sutiyoso–Gubernur DKI Jakarta saat itu. Dan pendukung acara seperti Boomerang, Audiensi, Rastafara, Dick Doank. Pun kepada semua artis yang mendukung. Thanks God…” ucapnya penuh makna.
Setelah berhasil mengukir rekor itu, Rini Asmara kemudian diberi gelar sebagai Presiden Rock Wanita Indonesia. “Saya terkesan, ketika berhasil memecahkan rekor 7,5 jam itu dan saya diberi gelar presiden drummer wanita Indonesia. Tapi gelar itu pula yg membuat saya takut untuk menerimanya,” katanya merendah.
Ibu tiga anak ini pada tahun 1991 sempat membuat band Jakarta Ladies Band (tidak sama dengan Jakarta Ladies Blues Band; band Rini Asmara bersama Sylvia Saartje, Dora Sahertian, dan Indah Winar—red) dan tampil dari kafe ke kafe; kegiatan yang masih sering dilakukannya hingga saat ini. Band ini sempat membuat demo meski akhirnya bubar di tahun 2009. Pada satu titik yang disebut pengklaiman barangkali, sangat tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Rini Asmara adalah pelopor drummer rock wanita mengingat kiprahnya yang tak bisa disangkal lagi.“Sebetulnya mungkin ada sebelum saya, hanya tidak terekspose saja,” demikian ucapan beliau.
Malam pasti berakhir. Pagi pun akan kembali bersama tunas-tunas bunga yang akan terus bermekaran. Pun pada ranah industri musik hari ini akan ada benih-benih muda yang hadir untuk memperkaya masa lalu. Tapi pada usianya yang tak lagi muda, Rini Asmara pun masih memiliki ambisi. “Sebetulnya pada umur saya yang sudah tak lagi muda, masih ada obsesi saya yang belum terealisasi. Saya ingin memecahkan rekor saya sendiri dengan 14 jam berkolaborasi bersama musik tradisional nusantara,” ucapnya bersemangat.
Mendengar kata-kata beliau, tiba-tiba terbesit pertanyaan kepada para wanita generasi ini: Hey ladies, apakah kalian masih bersemangat untuk memainkan musik rock? Semoga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar